Digugat Sjamsul Nursalim, Capim KPK dari BPK Jelaskan Cara Audit Kasus BLBI

Digugat Sjamsul Nursalim, Capim KPK dari BPK Jelaskan Cara Audit Kasus BLBI

 Calon pimpinan KPK I Nyoman Wara memberikan penjelasan kepada DPR terkait hasil pemeriksaan kerugian negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Komisi III menanyakan hal tersebut dalam uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK karena Nyoman merupakan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Nyoman menegaskan, audit yang dia lakukan telah sesuai dengan standar. Dia pun mengamini ada gugatan oleh pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim yang juga tersangka dalam kasus korupsi SKL BLBI di KPK.
Terkait gugatan tersebut, dia menyatakan telah diperiksa secara internal dan hasilnya pemeriksaan sudah sesuai standar.
"Kami yang bisa pastikan, kami berusaha bekerja sesuai standar pemeriksaan. Itu diukur kepatuhan kami standar pemeriksaan. Terhadap yang digugat Sjamsul, kami sudah periksa internal hasil tidak ada pelanggaran terhadap standar," ujar Nyoman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).
Kata dia, BPK negara luar, yaitu Polandia dibantu Estonia dan Norwegia telah memeriksa BPK Indonesia. Sebagai bagian dari pemeriksaan tahunan. "Hasil review BPK Polandia, pelaksanaan audit investigasi BPK memenuhi kualifikasi high quality investigative audit," imbuh Nyoman.
Nyoman juga memaparkan penjelasan terkait hal yang menjadi keberatan Sjamsul Nursalim. Sjamsul keberatan bahwa disebut ada kerugian negara dalam audit 2017, namun tidak disebutkan dalam audit 2006 dan 2002.
Nyoman pun mengamini memang ada perbedaan hasil. Tetapi dengan alasan tujuan dan jenis audit berbeda. Sehingga prosedur dan bukti yang diperlukan berbeda pula. Nyoman mengatakan pula ada perbedaan cakupan audit.
Nyoman menyebut pada audit 2002 petani petambak yang menjadi masalah dalam kasus BLBI tidak turut masuk dalam cakupan. Namun, dalam laporan 2002, dia jelaskan BPK mencantumkan soal petani petambak ini harus dilakukan kemudian hari. Sehingga, audit tahun 2002 dan 2017 saling berhubungan.
"Bukannya tidak nyambung, justru sangat nyambung audit 2017 dengan 2002. 2006 Audit kinerja, tidak ditujukan menghitung kerugian negara," jelasnya.
Nyoman menjelaskan, pada audit tahun 2002 merupakan audit penyelesaian kewajiban pemegang saham. Pada 2002 tidak diaudit terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) yang jadi masalah. Sebab SKL itu baru keluar pada 2004. Sehingga pada audit 2002 tidak muncul kerugian negara.
"2002 Belum ada SKL, bagaimana bisa kita berkesimpulan 2002 ada kerugian seperti dihitung 2017 terhadap transaksi 2004. Jadi agak berbeda. Tentu akan menghasilkan perbedaan," jelasnya.
Diketahui, Sjamsul Nursalim menggugat BPK dengan tergugat Nyoman Wara sebagai auditor ke PN Tangerang.
Salah satu isi gugatannya, Sjamsul menilai laporan hasil pemeriksaan investigatif dalam penghitungan kerugian negara atas kasus Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI pada Tahun 2004 Sehubungan dengan Pemenuhan Kewajiban Penyerahan Aset oleh Obligor BLBI kepada BPPN Nomor 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25 Agustus 2017 tidak sah, cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [rnd]
Share:

Syafii Maarif: KPK Itu Wajib Dibela, Tapi Bukan Suci

Syafii Maarif: KPK Itu Wajib Dibela, Tapi Bukan Suci Tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Maarif mengkritik prosedur revisi UU KPK dan konsep dewan pengawas. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
 Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif alias Buya Syafii mengatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib dibela. Namun, Buya Syafii menyebut bukan berarti lembaga antirasuah itu suci.

"KPK itu wajib dibela, diperkuat, tapi bukan suci lho KPK itu, itu harus diingat. Bukan suci," kata Buya Syafii usai bertemu Presiden Joko Widodo, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (19/9).

Terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK), Buya Syafii mengritik prosedurnya. Menurut dia, KPK tidak diajak berunding oleh Kementerian Hukum dan HAM serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Saya rasa kemarin kelemahannya prosedurnya kurang. KPK tidak diajak berunding oleh Kumham dan DPR," ujarnya.


Selain itu, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu mengkritisi ketentuan dewan pengawas dalam UU KPK. Menurut dia, institusi itu sebenarnya bisa didiskusikan bersama. Namun, kata Buya Syafii, pemerintah dan DPR menutup pintu diskusi.

"Saya rasa soal revisi, soal dewan pengawas itu bisa didiskusikan. Itu kan kemarin kan langsung di-gitu-kan, jadi terbakar teman-teman ini," tuturnya.

Meskipun demikian, Buya Syafii mengaku tak menyampaikan keluh kesahnya soal revisi UU KPK ini kepada Jokowi
Share:

Ketua DPR Menghindar Saat Ditanya Soal Surat Presiden Soal Revisi UU KPK

Ketua DPR Menghindar Saat Ditanya Soal Surat Presiden Soal Revisi UU KPKJokowi Serahkan Nota Keuangan dan RUU APBN 2020 kepada DPR. ©2019 Liputan6.com/JohanTallo
 Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah berkirim surat presiden (surpres) ke DPR mengenai revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Surat tersebut telah ditandatangani Presiden Jokowi pada Rabu (11/9).
Menurut Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, surat tersebut kabarnya telah dikirim ke DPR pagi ini. Sepengetahuan pria yang akrab disapa Bamsoet ini, isi dari surat tersebut adalah menugaskan menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah melakukan pembahasan revisi UU KPK yang jadi inisiatif DPR.
Bamsoet tidak banyak bicara detail mengenai surat tersebut. "Jadi kalau pandangan saya ya (sama) dengan pandangan DPR, nanti saja tanyakan langsung Komisi III," jelas Bamsoet di Gedung DPR.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah meneken Surat Presiden terkait revisi Undang-Undang KPK. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menuturkan, surat tersebut sudah diberikan kepada DPR untuk segera dimulainya pembahasan.
"Surpres Revisi UU KPK sudah diteken Presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi. Intinya bahwa nanti Bapak Presiden jelaskan detail seperti apa," kata Pratikno di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).
Pratikno menjelaskan, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sedang disusun. Dan setelah rampung akan dikirim ke DPR.
"Tapi bahwa DIM yang dikirim pemerintah banyak merevisi draf yang dikirim DPR," ungkap Pratikno.
Dia menjelaskan Mantan Gubernur DKI Jakarta ingin terus menjaga marwah KPK yang independen dalam pemberantasan korupsi. Sebab itu, menurut dia, Jokowi akan secepatnya menjelaskan secara rinci isi DIM tersebut.
"Pemerintah sekali lagi, presiden katakan KPK adalah lembaga negara yang independen dalam pemberantasan korupsi, punya kelebihan dibandingkan lembaga lainnya. Sepenuhnya Presiden akan jelaskan lebih detail. Proses saya kira sudah diterima DPR," kata Pratikno.
Diketahui, revisi UU KPK Inisiatif DPR berisi sejumlah poin penting yang dianggap melemahkan kinerja KPK. Pertama keberadaan dewan pengawas, kedua aturan penyadapan, ketiga kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), keempat status pegawai KPK.
Kelima kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan terakhir posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Revisi inisiatif Parlemen ini ditolak keras pimpinan KPK saat ini. Penolakan ini juga didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) seperti YLBHI dan LBH Jakarta, mantan ketua KPK seperti Abraham Samad, juga tokoh masyarakat seperti Buya Syafii Ma'arif.
Reporter: Muhammad Radityo
Sumber: Liputan6.com [noe]
Share:

Di Uji Capim KPK, DPR Serang Alexander Marwata Soal Jumpa Pers Kasus Firli

Di Uji Capim KPK, DPR Serang Alexander Marwata Soal Jumpa Pers Kasus Firli

 Komisi III DPR RI melakukan uji kepatutan dan kelayakan kepada Capim KPK petahana, Alexander Marwata. Komisi III mencecar Alex soal pimpinan KPK menggelar konferensi pers pada Rabu (11/8) kemarin terkait pelanggaran kode etik terhadap eks Deputi Penindakan KPK Firli Bahuri yang juga maju jadi capim KPK.
Pertanyaan pertama dilayangkan Anggota Komisi III Fraksi PDI-Perjuangan, Masinton Pasaribu. Menurutnya, konferensi pers kemarin berkaitan dengan nasib karir seseorang. Mansiton menyindir KPK sebagai lembaga penghambat karir.
"Kemarin itu ada konpers, karena ini menyangkut nasib seseorang, karir seseorang saya bertanya kepada pak Alex, sebagai calon komisioner dan juga orang masih menjabat di KPK, mudah-mudahan KPK masih menjadi komisi pemberantasan korupsi, bukan jadi komisi penghambat karir," ujar Masinton.
Mansiton kemudian menanyakan kepada Alex, apakah keputusan jumpa pers soal pelanggaran kode etik Firli kemarin melalui keputusan bersama pimpinan atau tidak.
"Kemarin disampaikan bahwa ada pelanggaran etik, saudara sebagai incumbent, apa yang saudara ketahui tentang itu, apakah KPK itu dalam keputusan boleh sendiri sendiri, atau kolektif kolegial pimpinan," tanya Mansiton.
Hal senada disampaikan anggota Komisi III fraksi PPP Arsul Sani. Apakah yang disampaikan pada konferensi pers kemarin mewakili seluruh pimpinan KPK atau tidak. Menurutnya, Firli Bahuri bisa mengusut ke ranah hukum lantaran mencemarkan nama baik.
"Bagi kami konten dalam konferensi pers itu, itu kalau yang terkena untuk marah, kemungkinan terbuka untuk perkara pidana pencemaran nama baik, dan juga karena terbuka dan dimuat bisa dituntut pasal 27 UU ITE, saya tidak bisa membayangkan kalau benar-benar dilaporkan yang bersangkutan nanti ada lagi cicak buaya jilid berapa itu nantinya," ujar Arsul.
Alex menjawab pertanyaan keduanya. Dia mengaku tak mengetahui adanya jumpa pers kemarin. Alex pun hanya diberitahu oleh Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Kemudian, Ketua KPK Agus Raharjo juga berada di luar kota.
"Apakah itu sikap lembaga, terus terang saya mendapat pemberitahuan adanya itu dari Bu Basaria, saya di WA, lewat berita yang dimuat bahwa ada pers konference terkait pengumuman pelanggaran kode etik mantan Deputi penindakan Pak Firli," terangnya.
"Artinya pers conference itu memang tidak diketahui oleh seluruh pimpinan, Pak Agus pada saat itu, pada kemarin itu ada di Yogya, saya dan Bu Basaria sebenarnya ada di kantor, tapi itu yang terjadi," ucapnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond Mahesa kembali menimpali pertanyaan. Dia menduga konferensi pers yang dilakukan KPK kemarin tidak ada keputusan pimpinan. Pasalnya, hanya dilakukan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
"Jadi konferensi pers kemarin itu apa sebenarnya, jadi dari keterangan pak Alex terkesan konferensi pers kemarin itu mengada ngada, pertama itu tidak berdasarkan keputusan pimpinan kolektif kolegial," ujarnya.
"Kedua dari keterangan pak Alex itu tidak ada masalah, tapi pers konference kemarin itu melanggar, ada putusan gak dari pernyataan atau statement pak Saut kemarin, ini kan aneh?" sambung Desmond.
Kemudian, Alex mengungkapkan bahwa dirinya juga bertanya kepada Jubir KPK Febri Diansah terkait konferensi pers tersebut.
"Saya kirim WA ke Jubir KPK Febri, ini apa konferensi pers, sementara pimpinan yang lain di kantor tidak tahu, atau saya yang tidak membuka WA grup pimpinan dan Humas," kata Alex.
Alex mengungkapkan, posisinya sebagai capim KPK memang posisi menyulitkan untuk memberikan pernyataan. Dia ingin mengendalikan diri untuk berbicara dengan siapapun.
"Saya tidak ingin mengomentari capim yang lain, saya tidak ingin mengomentari pemilihan KPK karena saya ada di dalamnya, ini yang saya hindari betul," tandasnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang menegaskan bahwa terdapat dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Mantan Deputi Bidang Penindakan KPK, Irjen Firli.
"Perlu kami sampaikan hasil pemeriksaan direktorat pengawasan internal adalah terdapat dugaan pelanggaran berat (terhadap Firli)," kata Saut di Ruang Konferensi Pers KPK, Jakarta Selatan, Rabu (11/9). [rnd]
Share:

Ketua Baleg DPR Prediksi Pembahasan Revisi UU KPK Bakal Alot

Ketua Baleg DPR Prediksi Pembahasan Revisi UU KPK Bakal AlotSupratman Andi Agtas. ©dpr.go.id
 Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Jokowi telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) revisi UU KPK ke DPR, kemarin (11/9).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas mengatakan waktu pembahasan revisi UU KPK tergantung dari pemerintah. DPR akan berkoordinasi dengan kementerian terkait soal waktu pembahasan. Apakah bakal dikejar dalam sisa masa jabatan DPR 2014-2019, Supratman tidak dapat pastikan.
"Tergantung pemerintah. Kalau DPR ya pasti kita ingin menyelesaikan itu. Kita pasti ingin menyelesaikan tapi terkendala pemerintah," ujar Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9).
Supratman berkata, soal jadwal ini tergantung menteri terkait. Disisi lain, Kementrian Hukum dan HAM tengah sibuk karena harus bolak-balik DPR untuk mengesahkan undang-undang yang tengah dibahas.
"Sekarang masalahnya banyak UU yang mah disahkan di komisi lain kadang kala menterinya itu harus lari ke sana kemari. Apalagi Menteri Hukum dan HAM semua pasti masuk dalam pembahasan UU," jelas politikus Gerindra itu.
DPR sudah terima Surpres. Tinggal Baleg akan membahas bersama dengan pihak pemerintah. Jokowi sudah mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) bersamaan dengan Surpres tersebut. Supratman mengaku belum melihat DIM tersebut. DIM bakal diserahkan secara resmi oleh pimpinan DPR.
Supratman enggan mendahului dan tidak mau mewakili fraksi untuk mengomentari poin pemerintah terhadap revisi tersebut. Dia hanya meyakini pembahasan bakal alot karena DPR dan pemerintah masing-masing punya pandangan sendiri. "Pasti akan ada argumentasi," imbuhnya.
Soal cepat tidaknya pembahasan, Supratman mengingatkan bagaimana dinamika politik nanti. Fraksi, kata Supratman memiliki pandangan berbeda-beda. Kalau pemerintah bisa meyakinkan fraksi untuk setuju, prosesnya bisa cepat.
"Nanti kalau bisa menyatu dan pemerintah bisa meyakinkan parpol ya silakan enggak ada masalah," ucapnya.
Terkait masukan publik, Supratman menilai tidak butuh lagi karena revisi tersebut sebelumnya sudah dibahas sejak dua tahun lalu. Sehingga tidak perlu mendengar masukan publik di DPR. Supratman juga menyebut DPR banyak mendengar pihak pro dan kontra terhadap revisi di media massa. Dia berdalih semuanya itu pasti bakal masuk pertimbangan DPR dalam membahas revisi UU KPK.
"DPR menyusun itu pasti pertimbangkan itu. Pemerintah mengeluarkan DIM pasti pertimbangkan itu. Kan semua pasti mempertimbangkan," ucapnya. [ray]
Share:

Baleg DPR Prioritaskan Revisi UU PPP dan MD3 Ketimbang UU KPK

Baleg DPR Prioritaskan Revisi UU PPP dan MD3 Ketimbang UU KPKGedung DPR. ©2015 merdeka.com/muhammad luthfi rahman
 Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan revisi UU MD3 dan UU Pembentukan Peraturan Perundangan (PPP) lebih diprioritaskan ketimbang UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
"Kami berharap MD3 bersama dengan PPP bisa segera diselesaikan. Karena ini sangat penting buat kita, terutama UU PPP," kata Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9).
Politikus Gerindra itu mengatakan, UU MD3 hanya mengubah satu pasal. Yaitu terkait perubahan kursi pimpinan MPR menjadi sembilan fraksi partai dan satu DPD. Sementara, revisi UU PPP bisa dibahas oleh anggota DPR periode berikutnya.
"Kan kalau MD3 tinggal satu pasal. PPP RUU yang lalu bisa di-carry over," jelasnya.
Soal kapan revisi itu dibahas, Baleg menunggu jadwal dari pemerintah. Termasuk pula bagaimana nanti revisi UU KPK dibahas setelah Surat Presiden diterima oleh DPR.
"Kan lagi nunggu. Baru mau hubungi pak menteri," ucapnya.
Terkait revisi UU MD3 sendiri, Supratman mengatakan, revisi tersebut adalah soal koalisi kebangsaan. Dia berharap semua partai politik satu frekuensi terhadap revisi tersebut.
"Jadi menempatkan MPR bukan sebagai lembaga politik praktis, tapi ini bicara politik kebangsaan. Soal kebangsaan, karena menyangkut soal ideologi, konstitusi, pusatnya di sana. Sehingga kami harapkan semua parpol berbicara hal yang sama," jelasnya. [ray]
Share:

Tak Terkesan dengan OTT, Alexander Marwata Ingin Pencegahan Korupsi Diperkuat

Tak Terkesan dengan OTT, Alexander Marwata Ingin Pencegahan Korupsi Diperkuatalexander marwata. ©2019 Merdeka.com/saud rosadi
 Calon Pimpinan KPK petahana, Alexander Marwata mengaku tidak terlalu terkesan dengan operasi tangkap tangan (OTT) untuk menangkap pelaku korupsi. Menurutnya, pelaku korupsi yang terkena OTT adalah orang bodoh karena sebenarnya OTT tidak sulit dilakukan.
"Saya sendiri tidak begitu terkesan dengan kegiatan OTT di KPK, meskipun saya ada di dalamnya. Karena (OTT) tidak membutuhkan teknik rumit, ini hanya orang goblok kena OTT itu," kata Alex menjawab tes uji kelayakan dengan Komisi III di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/9).
Namun, Alex beranggapan, para pelaku koruptor sebenarnya tidak akan jera hanya dengan OTT. Sebagai contohnya, tiga OTT dilakukan dalam dua hari berturut-turut, pada 2 September 2019 hingga 3 September 2019.
"Apakah OTT KPK kemarin dua hari itu orang enggak akan capek, ada tiga itu terakhir, saya yakin tidak. Apalagi kalau menyangkut kepala daerah," jelas Alex.
Oleh sebab itu, dia menilai pencegahan adalah faktor utama pemberantasan korupsi ketimbang penindakan. Namun, Alex menyebut gagasannya soal pencegahan korupsi masih dianggap sebelah mata. Malahan, pada sebuah diskusi ringan bersama divisi penindakan, usulan pencegahan terkesan di-bully.
Saat itu, Alex menganalogikan pengaduan masyarakat atau Dumas terkait suap pengadaan atau lelang barang tertentu dari pihak swasta ke kepala daerah. Dia memberi opsi, mana yang lebih baik antara memantau ketat proses pengadaan atau lelang tersebut atau menunggu momen untuk melakukan OTT.
"Saya tanya mana lebih baik? Kita cegah pengusaha itu memberikan uang. Kita awasi proses lelangnya dan kita pastikan lelang berjalan baik dan benar atau kita tunggu pengusaha itu memberikan uangnya? (dijawab divisi penindakan) ya kalau seperti itu tak akan ada OTT pak," ujar Alex menirukan.
Padahal menurutnya bila opsi pertama dilakukan, maka hal itu bisa mencegah dua kerugian. Pertama kerugian negara dan kedua menyelamatkan orang yang bisa terlibat atau melakukan tindak pidana korupsi.
"Tapi saya bisa dibully kalau sampaikan ini. Karena ini tidak populer karena (marwah) KPK harus menindak dan menangkap orang, itu lah etalase KPK," tandas Alex.
Reporter: M Radityo [ray]
Share:

Recent Posts